SURABAYA-Pengusaha rokok, petani tembakau dan semua usaha yang terkait dengan industri rokok bisa bernafas lega. Setidaknya, harapan mereka agar tidak kenaikan cukai rokok di tahun 2019 telah resmi dikabulkan pemerintah. Usaha mereka juga tak terusik lagi dengan rencana kenaikan cukai rokok.
Keputusan resmi pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK 010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK 010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau telah diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Keputusan resmi pemerintah ini juga buntut dari aksi demo para buruh kelinting rokok atau Sigaret Kretek Tangan (SKT) di depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan Surabaya, Kamis (11/11).
Mengaku kesal dengan pemerintah pusat yang berencana menaikkan cukai rokok di tahun 2019, ratusan buruh dari perusahaan rokok SKT yang ada di Lamongan, Bojonegoro, Sidoarjo, Madiun, Probolinggo dan Malang itupun menolak keras rencana itu. “Kenaikan cukai rokok akan berdampak pada pabrik kami bekerja dan selanjutnya dampaknya ke nasib kami yang terancam PHK,” kata Sulastri, buruh Mitra Produksi Sigaret Tangan (MPS) di Lamongan.
Kekhawatiran Sulastri dan teman-temannya yang bekerja mengelinting rokok SKT itu dikuatkan oleh Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret (MPS) Kretek Tangan Indonesia, Joko Wahyudi. Menurut dia, kenaikan cukai rokok berdampak pada menurunya kinerja produksi MPS. Dia mecontohkan kenaikan cukai rokok pada 2017 lalu di kisaran 5-10 persen yang telah menyebabkan daya beli konsumen rokok menurun dan berimbas pada turunnya volume produksi MPS. “Volumen produksi setiap MPS rata-rata turun sekitar 35 persen akibat kenaikan cukai rokok,” katanya.
Joko menyebutkan saat ini ada 20 produsen rokok di Jatim yang bergabung dengan MPS dari total keseluruhan 35 perusahaan MPS di Indonesia. Penurunan volume produksi 35 persen akibat kenaikan cukai rokok berbanding lurus dengan kenaikan jumlah PHK karyawan. Bila pada 2015 jumlah karyawan di setiap MPS rata-rata 2.000 orang, namun sering dengan kebijakan kenaikan cukai rokok jumlah itu kini tinggal 135.000 orang. “Jumlah itu dipastikan akan terus berkurang kalau pemerintah menaikkan cukai rokok karena banyak karyawan yang akan terkena PHK,” kata Joko.
Pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan kondisi di lapangan dalam mengambil kebputusan menaikkkan cukai rokok ini. Dengan beban kenaikan cukai rokok 5-10 persen di tahun 2017 lalu saja kondisi MPS sudah ngos-ngosan karena daya beli konsumen menurun, apalagi kalau ditambah dengan rencana kenaikan cukai pada 2019. “Pemerintah semestinya bijak, agar tidak terjadi PHK massal dan kebutuhan pemerintah meningkatkan pendapatan tercapai, harusnya cukuai rokok tidak dinaikkan. Karena pasti akan ada kenaikan tiap tahunnya sesuai dengan kenaikan produksi,” terang Joko.
Menurut Joko, kontribusi rokok pada pendapatan pemerintah sebenarnya cukup besar. Total pendapatan pemerintah dari pita cukai rokok pada tahun 2017 lalu mencapai sekitar Rp 200 triliun. Dia memastikan pendapatan itu akan bertambah pada 2018 ini dengan kenaikan produksi rokok nasional. Sebaliknya, dengan menaikkan cukai rokok sesuai kebutuhan anggaran pemerintah, bisa jadi target penambahan pendapatan itu tidak akan tercapai.
Ketua Pengurus Daerah Jawa Timur Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Purnomo juga ikut bicara, bila kenaikan tarif cukai yang selalu diikuti pula kenaikan harga jual eceran rokok akan berdampak meningkatnya peredaran rokok ilegal dan menyebabkan menjamurnya rokok-rokok murah ilegal. Mengutip hasil studi Universitas Gadjah Mada, potensi penerimaan negara yang hilang akibat rokok ilegal dapat mencapai Rp 1 triliun. “Akibatnya, negara sendiri akan kehilangan penerimaan dari sektor cukai,” ujarnya.
Purnomo mengungkapkan, industri hasil tembakau sudah terbebani oleh kenaikan tarif cukai rokok diatas inflasi sehingga mengalami stagnansi sejak 2014. Bahkan, sejak tahun 2016, industri yang menjadi tumpuan enam juta orang ini telah mengalami penurunan sebesar 1 persen hingga 2 persen. Secara nasional, akibat kenaikan tarif cukai yang cukup tinggi di atas inflasi, maka dalam 8 tahun terakhir, banyak pekerja rokok yang terpaksa dirumahkan alias di-PHK.
Catatan RTMM menunjukkan, pada 2010 lalu jumlah pekerja yang tergabung dalam organisasinya sebanyak 235.240. Lima tahun kemudian atau pada 2015, jumlah anggotanya turun menjadi 209.320 orang. Penurunan terus terjadi pada 2017 lalu, yakni menjadi 178.624 orang. “Itu artinya, selama 8 tahun terakhir, pekerja rokok yang kehilangan pekerjaan sebanyak 56.616 orang,” terang Purnomo.
Di mata Nurlaila, pekerja linting rokok SKT asal Madiun, dengan mendengar aspirasi para buruh, pemerintah telah menunjukkan komitmennya yang selama ini digembar-gemborkan selalu peduli dengan nasib orang kecil. “Dan kami para buruh SKT disini masih yakin kalau pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi ini mau mendengar jeritan nasib kami yang menolak kenaikan cukai rokok,” ucapnya berapi-api diantara kerumunan aksi demo. Nurlaila dan teman-temanya sudah berancang-ancang melanjutkan aksi demonya itu ke Jakarta bila pemerintah pusat tidak segera merespon aspirasi mereka.
Beruntung, esok harinya sebelum para buruh melanjutkan tekadnya demo di Jakarta itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang waktu itu tengah mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Bogor, merespon aksi demo mereka yang beritanya telah menghiasi headline baik media cetak maupun elektronik. Ia menyatakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tidak akan naik tahun depan. “Tidak akan ada perubahan atau kenaikan cukai. Kami akan menggunakan tingkat cukai yang ada sampai 2018,” kata Sri Mulyani.
Keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK 010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK 010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau seolah menegaskan komitmen Sri Mulyani itu. Mengacu pada Permen tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (16/12) menyatakan tidak ada kebijakan kenaikan tarif cukai HT maupun kenaikan batasan Harga Jual Eceran minimum, sehingga tetap mengacu pada Pasal 6 dan 7 PMK 146/2017.
Dalam peraturan tersebut, lanjutnya, pemerintah menambah ketentuan terkait batasan harga jual eceran minimum Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) ,sehingga perlu mengubah Bab I Ketentuan Umum dan Lampiran II PMK 146/2017.
Menurut dia, kebijakan tentang hasil tembakau mempertimbangkan sejumlah aspek seperti pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, tenaga kerja, dan pemberantasan rokok ilegal.
“Sepanjang 2013-2018, kenaikan tarif cukai dan penyesuaian harga jual eceran HT telah berhasil mengendalikan produksi HT dengan penurunan produksi sebesar 2,8% dan meningkatkan penerimaan negara sebesar 10,6%,” katanya.
Meskipun demikian, dari aspek tenaga kerja, pemerintah merasa masih perlu memberikan ruang bagi industri padat karya dengan menjaga keberlangsungan tenaga kerja yang perkembangannya stagnan.
Selanjutnya, katanya, pencapaian target penerimaan cukai hasil tembakau pada 2019 akan lebih difokuskan pada upaya pemberantasan peredaran rokok ilegal. “Hal tersebut dimaksudkan agar industri HT legal dapat tumbuh dan mengisi pasar ilegal yang pada akhirnya diharapkan dapat menambah penerimaan negara sekaligus menjaga keberlangsungan tenaga kerja,” beber Nufransa.
Beberapa hal yang menjadi alasan Pemetintah untuk tidak menaikan tarif cukai HT pada 2019 juga disampaikan Deputi Urusan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong, salah satunya jumlah perusahaan rokok yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Dia menyebut menurut data Bea dan Cukai ada 776 pabrik rokok, sementara data yang dimilikinya ada 493 pabrik. “Bayangin dari 1.000 (pabrik). Bahwa ini banyak yang di-layoff,” ujar Atong, Senin (17/12).
Dari pabrik rokok yang tutup kebanyakan merupakan pabrik kecil yang biasanya industri kecil menengah di daerah. Sementara perusahaan rokok besar relatif masih bisa bertahan seperti SKM (Sigaret Kretek Mesin) dan SPM (Sigaret Putih Mesin).
“Ini momentum untuk menjaga industri minimal tetap. Menjaga jumlah industri rokok itu agar tidak terjadi layoff. Kami melihat tidak hanya dari sisi fiskal saja. Itu yang namanya pengangguran kemiskinan ini harus kita melihat dalam satu kesatuan,” tandasnya.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto di Gedung BEI Jakarta, Senin (17/12) menyatakan tarif cukai tembakau tidak naik ini bukan pertama kali., tetapi sudah 6 kali, yakni tahun 2001, 2003, 2004, 2008, 2014 dan yang terakhir tahun 2018. Berbagai alasan dipertimbangkan pemerintah untuk memutuskan tidak menaikkan cukai rokok di saat-saat itu. Sebab industri rokok begitu rumit, mulai dari penerimaan negara, lapangan kerja hingga dari sisi kesehatan masyarakat. “Makanya kita harus ramu kebijakan yang paling tepat,” kata Nirwala.
Dalam menentukan kebijakan pemerintah juga mempertimbangkan dari sisi potensi penerimaan negara dari sisi industri HT. Belum lagi tembakau juga membuka banyak lapangan pekerjaan.
Menurut Nirwala, mengacu data Nielsen atau EY, kontribusi fiskal tembakau mencapai 61,4 persen, menyusul urutan kedua industri jasa keuangan 26,2 persen, BUMN 9,5 persen, real estate 4,7 persen. Makanya kita harus hati-hati sekali menerapkan industri rokok,” imbuhnya.(RD)
Komentar