PII Dalam Prespektif Tantangan Energi dan Pangan Indonesia Masa Depan

Dwi Satriyo Annurogo Dirut Petrokimia Gresik
Dwi Satriyo Annurogo, Dirut Petrokimia Gresik

Dewasa ini perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi isu hangat global yang mendorong aktivitas ekonomi dunia bebas emisi karbon (net zero emission). Sektor energi pun menjadi isu paling seksi karena dianggap dapat mewujudkan ekonomi bebas emisi tersebut. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, pada Oktober 2021, negara-negara kelompok Duapuluh atau Group of Twenty (G2O) yang mengonsumsi lebih dari 80% kebutuhan energi dunia menempatkan energi baru terbarukan (EBT) sebagai salah satu isu global yang menggambarkan tantangan perekonomian dunia kedepan.

Di sisi yang lain, perubahan iklim juga membawa masalah krusial di sekor pertanian terutama sektor pangan dengan terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan yang menyebabkan gagal panen di banyak negara. Khusus di Indonesia, BNPB mencatat jenis bencana banjir adalah paling sering terjadi akibat bencana hidrometeorologi dan itu salah satu tantangan di sektor pangan Indonesia kedepan.

Sangat penting bagi Indonesia untuk menyikapi isu global yang timbul dari perubahan iklim tersebut untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi penduduk yang besar. Data BPS menunjukkan, hasil Sensus Penduduk (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa, bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan hasil SP2010 dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun selama 2010-2020 rata-rata sebesar 1,25%. Konsekwensi dari pertumbuhan jumlah penduduk adalah terpenuhinya kebutuhan dasar, yakni energi dan pangan.

Di sisi energi terutama dalam konteks kekinian sebagai pemegang estafet presidensi G20 2022 adalah momen berharga bagi Indonesia untuk melaksanakan kebijakan transisi energi dari energi fosil ke energi hijau yang efisien, terjangkau, kompetitif dan mudah diimplementasikan. Mengingat Indonesia adalah anggota G20 sekaligus konsumen energi dunia yang digunakan baik untuk kebutuhan konsumsi ataupun untuk aktivitas produksi. Data Kementerian ESDM menunjukkan, konsumsi energi Indonesia pada 2017 mencapai 1,23 miliar Barrels Oil Equivalent (BOE) naik 9% dari tahun 2016. Dari angka tersebut, BBM menyumbang 356,33 juta BOE atau 28,88% terhadap total konsumsi. Sedang total konsumsi energi final atau tanpa biomasa tradisional pada 2018 sekitar 114 MTOE (million tons oil equivalent), masing-masing sektor transportasi 40%, industri 36%, rumah tangga 16%, komersial 6% dan sektor lainnya 2%.

Kebutuhan BBM termasuk biodiesel dalam negeri pada 2018 mencapai 465,7 juta barel/tahun yang dipenuhi dari produksi kilang dalam negeri rata-rata sebesar 278,1 juta barel dan impor rata-rata sekitar 165,4 juta barel. Adapun konsumsi LPG sebesar 7,5 juta ton yang dipenuhi dari produksi LPG dalam negeri sebesar 2 juta ton atau 26% dan impor 5,5 juta ton atau 74%. Kemudian konsumsi batubara dalam negeri mencapai 115 juta ton.

Sementara produksi minyak bumi dalam 10 tahun terakhir cenderung menurun, dari 346 juta barel (949 ribu bph) pada 2009 turun menjadi sekitar 283 juta barel (778 ribu bph) pada 2018. Penurunan produksi dipicu oleh sumur-sumur produksi utama minyak bumi yang umumnya sudah uzur, sedang produksi sumur baru relatif masih terbatas.

Menurut Kementerian ESDM (2016), dengan asumsi tidak ditemukan lagi ladang-ladang minyak baru, cadangan energi minyak mentah Indonesia rata-rata habis diproduksi 20 tahun kedepan. Ancaman krisis energi pada 20 tahun mendatang bakal terjadi apabila energi fosil masih dipandang sebagai energi utama.

Produksi gas bumi yang digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri di sektor industri feed stock, energi, pembangkit listrik, gas kota baik rumah tangga maupun komersial juga cenderung menurun. Pada 2018 produksi gas bumi mencapai 2,9 juta MMSCF serta gas lift sebesar 1,7 juta MMSCF. Total produksi gas bumi menurun dari 50% pada 2009 menjadi 40% pada 2018.

Berbagai alasan tersebut memperkuat komitmen Indonesia untuk memasuki era transisi energi dari energi fosil menuju energi hijau yang bersih, dapat diperbaharui, ramah lingkungan serta bebas emisi. Komitmen ini juga mendukung Paris Agreement, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca. Oleh sebab itu, Indonesia juga telah menetapkan target bauran EBT minimal 23% dari konsumsi energi pada 2025 dan pada 2050 target tersebut akan ditingkatkan menjadi 30%. Pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik pada 2018 tercatat sebesar 8,8 GW atau 14% dari total kapasitas pembangkit listrik (fosil dan non fosil) yaitu sebesar 64,5 GW.

Secara global, implementasi EBT menghadapi beberapa tantangan dan hambatan. Misal upaya produsen energi fosil yang ingin tetap mempertahankan produksi energinya bisa terserap oleh pasar atau masyarakat yang sulit mengubah perilaku beralih ke EBT karena sudah terbiasa dengan energi fosil.

Berkaca dari success story peralihan penggunaan dari minyak tanah ke LPG atau BBM Premium ke Pertalite atau Pertamax, perlu diambil aksi kebijakan yang dapat mempercepat transisi energi dari fosil ke EBT, seperti sosialisasi secara masif yang mendorong masyarakat mau beralih ke EBT. Selain itu, juga perlu langkah-langkah lain berskala besar, yakni memperbesar pasar EBT melalui riset dan pengembangan, peningkatan volume produksi, pemberian insentif insentif pajak baik kepada investor maupun end-user, ketersedian jaringan yang luas termasuk stasiun pengisian tenaga listrik serta pembangunan infrastruktur EBT. Dengan upaya itu harga EBT diharapkan akan lebih kompetitif atau lebih murah dari energi fosil.

Tantangan Pangan

Sektor pangan juga menjadi isu global yang cukup fundamental sejalan dengan laju pertumbuhan populasi penduduk dunia yang secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan pangan. Masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi berimplikasi pada kestabilan ekonomi, sosial, dan politik di banyak negara.

Bagi Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tantangan tersendiri. Sebagai negara kepulauan yang letaknya geografis dan luas wilayahnya, masing-masing daerah memiliki karakter sendiri mulai dari kondisi tanah, kecocokan pada jenis-jenis tanaman, sumber pangan sampai pola bercocok tanam dan makanan pokok. Selain itu, sektor pangan di Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan lain sebagai implikasi pertumbuhan penduduk. Yakni, semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi yang mengancam keberlanjutan produksi dan kualitas pangan yang berdampak pada ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan komoditas pangan. Pertumbuhan penduduk berimplikasi pada kebutuhan akan lahan untuk penggunaan non pertanian, misalnya untuk tempat tinggal atau usaha non pertanian.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019 disebutkan laju konversi lahan sawah mencapai 100 ribu hektar per tahun atau laju pertumbuhan lahan sawah mencapai -12.97% dalam setiap tahunnya. Dampaknya adalah penguasaan lahan petani semakin sempit. Pada 2012, luas penguasaan lahan per petani mencapai 0,22 hektar dan diperkirakan akan menyusut menjadi 0,18 hektar pada 2050.

Akibat konversi lahan luas lahan panen tentu saja kian menyempit. BPS mencatat potensi luas lahan panen padi pada 2021 sebesar 10,52 juta hektare atau mengalami penyusutan sebesar 0,14 juta hektare jika dibandingkan dengan tahun 2020 seluas 10,66 juta hektare. Penurunan itu juga tidak lepas dari penyusutan realisasi luas lahan panen padi sepanjang Januari hingga September 2021 sebesar 0,24 juta hektare.

Tantangan lain adalah lemahnya pemanfaatan dan penguasaan teknologi, kurangnya manajemen usahatani dan pemasaran hasil, proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan yang masih cukup tinggi. Kehilangan pangan (food losses) yang disebabkan karena  ketidaktepatan penanganan pangan mulai dari saat panen sampai pengolahan dan pemasaran masih di kisaran 10% sampai 20%. Belum lagi, luas lahan pertanian per kapita yang sangat terbatas. Lalu, sebagian besar petani kecil juga masih menghadapi masalah keterbatasan akses pasar, permodalan, informasi, dan teknologi yang berdampak sektor pertanian kesulitan mencapai efisiensi dengan alat pertanian dan mekanisasi lantaran lahan yang dikelola tidak terkonsentrasi pada satu wilayah yang luas. Ditambah lagi minat generasi muda bekerja di sektor pertanian semakin berkurang. Data BPS 2018 menunjukkan usia petani di atas 45 tahun mencapai 64,2%

Sangat penting dilakukan inovasi untuk mengatasi perubahan di sektor produksi utama itu dalam kerangka meningkatkan sistem pangan dan memberi manfaat bagi keluarga petani. Salah satunya adalah perbaikan Food System sebagai satu rangkaian dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangangan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, maupun keamanannya. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian dalam Buletin Konsumsi Pangan Volume 10 Nomor 1 Tahun 2019, menyebutkan rata-rata konsumsi beras selama periode 2002-2018 sebesar 1,95 kg/kapita/minggu atau setara dengan 101,65 kg/kapita/tahun.

Apapun tantangan kedepan baik di sektor energi maupun pangan diatas, luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar merupakan modal utama menjadikan Indonesia salah satu negara dengan kekuatan ekonomi dunia, populasi penduduk yang besar menjadi pemicu roda pembangunan dan menarik investasi global. Asalkan dikelola dengan baik dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Di sisi SDM inilah sumbangsih Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII) untuk dapat mengambil peran krusial sebagai inovator dan mendorong berbagai kegiatan berbasis pada riset dan inovasi terutama bidang ketahanan pangan dan EBT untuk mendorong pemulihan dan transformasi ekonomi serta menunjang kemandirian bangsa. Selamat Melaksanakan Konggres PII XXII kepada seluruh insinyur Indonesia ! 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *