Tak Senafas dengan Semangat Menekan Biaya Logistik, Kadin Jatim dan Lima Asosiasi Tolak Rancangan Permenhub Tarif Kepelabuhanan

(Dari kiri ke kanan): Ketua ALFI Jatim Sebastian Wibisono, Ketua GPEI Isdarmawan Asrikan, Ketua INSA Surabaya Stenvens Lesawengen, Ketua umum KADIN Jawa Timur Adik Dwi Putranto, Ketua Organda Tanjung Perak Kody Lamahayu saat diskusi di Graha Kadin Jatim Surabaya, Jumat (23/08/2024). Foto: Dok. Kadin Jatim

SURABAYA, investorjatim – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur bersama para pelaku usaha kepelabuhanan yang tergabung dalam lima asosiasi kepelabuhanan sepakat menolak Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Tarif Kepelabuhanan yang merupakan perubahan atas PM Perhubungan Nomor 121/2018 sebagai turunan dari UU 17/2008 pasal 110.

Kelima asosiasi tersebut adalah Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia atau Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Surabaya, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim, Organisasi Angkutan Darat (Organda) Tanjung Perak, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jatim dan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jatim.

Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengungkapkan RPM Tarif Kepelabuhanan oleh Menteri Perhubungan yang akan menggantikan PM Perhubungan 121/2018 tidak senafas lagi dengan semangat pemerintah untuk menurunkan biaya logistik di tanah air.

“Peraturan yang ada di Permenhub No. 121/2018 itu sudah benar, ketika akan menaikkan tarif harus melibatkan asosiasi di kepelabuhanan. Ini adalah kolaborasi yang benar. Tetapi sekarang ada usulan pemerintah dalam hal ini Menteri Perhubungan yang akan menghilangkan kolaborasi tersebut, menghapus gotong royong, sehingga Badan usaha Pelabuhan (BUP) bisa menaikkan tarif semaunya sendiri yang akan berdampak pada mahalnya biaya logistik. Ini kontraproduktif dan harus disikapi sebelum disetujui,” ungkap Adik usai mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha kepelabuhanan di Surabaya, Jumat (23/08/2024).

Adik yakin pemerintah paham atas penolakan ini mengingat peta jalan pemerintah adalah menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia. “Tinggal sensitivitas Kementerian Perhubungan tentang hal ini yang kita pertanyakan. Karena usulan tersebut sangat meresahkan pelaku usaha logistik di tanah air,” ujar Adik.

Sebagai tindaklanjut dari keresahan para pelaku usaha kepelabuhan di Jatim ini, Kadin Jatim akan berkirim surat ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pekan depan dan juga akan melakukan dengar pendapat atau hearing dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI.

“Minggu depan kami akan berkirim surat ke Presiden dan kami tembuskan ke Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN. Saya yakin pak Jokowi mengerti apa yang kami rasakan karena dulu beliau adalah pelaku usaha kayu yang pernah melakukan ekspor,” kata Adik.

Ketua INSA Surabaya Stenven H. Lasawengen menyatakan dalam PM Perhubungan Nomor 17/2018 ditegaskan bahwa untuk mengubah golongan tarif, sebelum disyahkan Harus meminta persetujuan asosiasi terkait.

“Tetapi saat ini ada gerakan massif yang akan menghilangkan keterlibatan asosiasi. Kalau pasal itu dihilangkan, maka kenaikan tarif di pelabuhan tidak terkontrol lagi. Gerakan ini harus dihentikan karena akan berakibat kenaikan tarif logistik yang luar biasa,” papar Stenvens.

Lebih lanjut Ketua Organda Tanjung Perak Kody Lamahayu menyorot peran asosiasi dalam pengambilan kebijakan tarif. Selama ini asosiasi bertindak sebagai pengontrol BUP, khususnya Pelindo. “Jika tidak ada kami maka tarif akan dinaikkan dengan seenaknya, seperti yang terjadi di Teluk Lamong,” katanya.

Jika aturan sebagaimana tertuang dalam Permenhub No. 17/2018 dihilangkan, Kody khawatir tarif handling di semua pelabuhan akan dinaikkan seperti di Teluk Lamong. “Pemerintah saat ini tengah menekan cost logistik, tetapi pemerintah juga melepas aturan yang bisa membuat naiknya cost Logistik,” tegasnya.

Padahal, sambung Ketua GPEI Isdarmawan Asrikan, peranan logistik saat ini sangat penting dalam perekonomian nasional, karena logistik adalah ekosistem dari pergerakan barang. “Dan di wilayah Indonesia timur, khususnya Jatim sebagian besar melalui Tanjung Perak baik ekspor maupun impor atau perdagangan dalam negeri,” tukas Isdarmawan.

Sejauh ini, lanjut dia, peranan industri dalam kegiatan ekspor Jatim sangat besar, hampir mencapai 90% dari total ekspor.  Juga hampir 70% bahan baku produksi industri dalam negeri adalah impor dari luar negeri.

“Sehingga peranan pelabuhan Tanjung Perak ini sangat penting bagi pergerakan ekonomi di Jatim. Jika tarif di pelabuhan, khususnya Tanjung Perak naik, maka performa index logistik kita akan semakin turun. Padahal saat ini indeks kita sudah kalah dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Untuk itu, peran asosiasi harus tetap diperjuangkan agar performa indeks kita tidak semakin turun,” ujarnya.

Ketua ALFI Jatim Sebastian Wibisono juga menegaskan bahwa di Jakarta, semua DPP Asosiasi sudah berkirim surat ke Kementerian Perhubungan. Bagi pelaku usaha, penolakan ini adalah sebuah keniscayaan untuk menuju Indonesia Emas di tahun 2045.

“Untuk itu kami di Jatim juga merapatkan barisan karena hal ini sangat tidak relevan, dimana pemerintah berupaya menurunkan biaya logistik tetapi monopoli juga dibesarkan,” tegas Wibisono. Ia pun berharap ada sensitivitas pemerintah untuk tidak mengubah aturan yang sudah benar tersebut.

Sementara Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan GINSI Jatim Medy Prakoso menegaskan bahwa masyarakat, termasuk asosiasi adalah pengendali dan penyeimbang.

“Kalau pemerintah tidak dikendalikan, maka pemerintah akan liar. Pemerintah harus tahu bahwa kita punya harapan. Dan sebagai pengendali, kita harus memberikan masukan agar Indonesia lebih maju,” tutup Medy. ROS

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *