SURABAYA, investorjatim -Penguatan pasar dalam negeri bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu kunci Indonesia, khususnya Jawa Timur tetap berkembang di saat dunia mengalami resesi. Untuk itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim berupaya membantu UMKM meningkatkan kualitas dan mutu barang yang dihasilkan dengan mendirikan Halal Center sehingga UMKM mampu bersaing.
Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengatakan, pembentukan Halal Center Kadin Jatim juga dilatarbelakangi oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah dilebur ke dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal yang berlaku mulai 17 Oktober 2019.
“Prosesnya akan berlangsung dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024. Tahap pertama kewajiban sertifikasi halal diberlakukan untuk produk makanan dan minuman. Sehingga keberadaan Halal Center sangat penting,” ungkap Adik saat Rapat Koordinasi Persiapan Penyusunan Program Kerja Kadin Jatim 2023 di Graha Kadin Jatim, Selasa (17/1/2023).
Saat ini, jumlah usaha makanan dan minuman yang sudah mengantongi sertifikat halal sampai saat ini masih sangat kecil. “Karena 2024 sudah dekat, tetapi sampai sekarang prosentase produk makanan dan minuman yang berlebel halal masih sangat sedikit. Kita kejar itu supaya di tahun 2024 semua produk mamin khususnya UMKM sudah bersertifikat halal,” katanya.
Langkah tersebut dilakukan karena kontribusi UMKM terhadap ekonomi Jatim sangat besar, termasuk dalam penyiapan tenaga kerja. Data Pemerintah Provinsi Jawa Timur menunjukkan, kontribusi UMKM terhadap PDRB Jatim mencapai 57,81%. Dari sisi penyerapan tenaga kerjanya juga lebih besar dibanding industri besar.
“Ini harus terus didorong, terlebih PPKM sudah dicabut dan UMKM memiliki kesempatan yang lebih luas untuk berkembang. Jika UMKM terdorong dan maju, maka akan bisa meningkatkan demand sehingga produksi juga akan meningkat dan yang dikhawatirkan akan krisis di 2023 bisa kita lewati bersama,” tegas Adik.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Halal Center Kadin Jatim Edi Purwanto mengatakan, pembentukan Halal Center Kadin Jatim ini bermula dari masih minimnya jumlah industri yang sudah memiliki sertifikat halal. Sementara di tahun 2024 kewajiban sertifikasi halal sudah diterapkan, khususnya untuk produk makanan dan minuman.
Saat ini, jumlah usaha, baik mikro ataupun kecil, menengah dan besar yang telah memiliki sertifikat halal tidak sampai 10 persen. Sehingga pemerintah di tahun ini menggenjot melalui program Sehati, satu juta sertifikat halal gratis untuk pelaku usaha supermikro dan mikro. Yaitu, bagi usaha dengan omset dibawah Rp 500 juta, tidak memiliki titik kritis, dan proses produksinya sederhana. Sedang untuk industri kecil menengah dan besar harus mengurus melalui mekanisme reguler.
“Karena Kadin sebagai kumpulan pelaku usaha dan sebagai ujung tombak yang harus support pelaku usaha, termasuk dalam mendapatkan sertifikasi halal, sehingga Kadin membentuk Halal Center agar bisa melakukan edukasi, sosialisasi dan mendampingi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikasi halal. Secara kelembagaan sudah tuntas dan akan kami launching bulan depan ,” tandasnya.
Terkait pemenuhan tenaga penyelia yang dibutuhkan dalam pembentukan Halal Center, ia mengatakan akam bekerjasama dengan Kadin Institute. “Penyelia halal yaitu orang yang bertanggung jawab atas proses produk halal dan mendampingi pelaku usaha agar proses pembuatan produk yang dilakukan pelaku usaha tersebut sesuai dengan ketentuan halal. Karena saat ini Kadin masih belum memiliki tenaga penyelia, maka diawal pelaksanaanya akan bekerjasama dengan Halal Center Jatim yang kebetulan saya sebagai Ketua Dewan Pembina. Sambil jalan, akan kita siapkan melalui Kadin Institute,” katanya.
Keberadaan Halal Center Kadin Jatim ini diharapkan mampu membantu usaha yang bersangkutan untuk mendapatkan sertifikat halal. Edi juga mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab minimnya jumlah industri yang telah memiliki sertifikat halal. Pertama, masih belum banyak pelaku usaha yang mengetahui tentang regulasi kewajiban pelebelan halal karena sebelumnya regulasi ini tidak bersifat wajib tetapi sukarela.
“Kendala kedua, untuk sertifikasi halal saat ini ditangani Kemenag lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang sebelumnya ditangani oleh BPOM MUI. Proses transisi kelembagaan inilah yang berpengaruh pada proses percepatan pengurusan sertifikat halal,” tandasnya.
Dan ketiga adalah dalam hal menyiapkan dokumen. “Rata-rata pelaku usaha belum cukup siap untuk pengisian dokumen, banyak yang belum tahu, termasuk masih banyak pengusaha yang belum memiliki NIB,” ujarnya.(ROS)