Kadin Jatim: Literasi Ekonomi Syariah di Indonesia Masih Rendah

Prof. Dr. Muhammad Nafik Hadi Ryandono, Dosen Ekonomi Syariah Unair,
dan Clarashinta Canggih, Dosen Ekonomi Syariah Unesa saat TalkShow yang digelar oleh Kadin Jatim dengan tema “Building Resilience and Srategic Pathways in the Digital Islamic Economy Amid the Trade War Era” di Graha Kadin Jatim Surabaya, Senin (19/05/2025). Foto: Kadin Jatim

SURABAYA, Investor Jatim – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menyoroti rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap ekonomi syariah. Ia menegaskan bahwa ekonomi syariah bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak untuk dijawab secara sistematis dan menyeluruh, terutama di tengah berkembangnya tren halal dan digitalisasi ekonomi.

“Literasi ekonomi syariah di Indonesia masih sangat rendah. Padahal ini seharusnya menjadi kebutuhan, bukan pilihan. Ekonomi syariah harus dipahami dan diterapkan secara menyeluruh oleh masyarakat,” ujar Adik saat membuka TalkShow dengan tema “Building Resilience and Srategic Pathways in the Digital Islamic Economy Amid the Trade War Era” yang digelar oleh Kadin Jatim bersama Mahasiswa Magang di Graha Kadin Jatim Surabaya, Senin (19/5/2025). Menghadirkan narasumber Dosen Ekonomi Syariah Unair, Prof. Dr. Muhammad Nafik Hadi Ryandono dan Dosen Ekonomi Syariah Unesa Clarashinta Canggih.

Adik mencontohkan, kebutuhan akan sertifikasi halal misalnya, tidak lagi sebatas regulasi, melainkan sudah menjadi tuntutan pasar. Bahkan dalam sektor logistik, pelaku usaha kini harus menyesuaikan diri karena industri ekspor banyak yang mensyaratkan sertifikat halal pada seluruh rantai pasok, termasuk logistik.

Namun, ia mengakui masih banyak tantangan, terutama dalam aspek digital. Berdasarkan data yang dihimpun, transaksi digital di e-commerce Indonesia mencapai sekitar Rp 700 triliun per tahun, namun pelaku ekonomi syariah baru mampu menyerap sekitar 15–20% dari total transaksi tersebut.

Baca Juga:  Kadin Jatim Minta Presiden Prabowo Batalkan Kebijakan yang Mengancam Industri Hasil Tembakau

“Artinya masih ada ruang besar yang belum kita garap. Tapi ini juga jadi tantangan karena banyak masyarakat, termasuk saya pribadi, belum paham apakah transaksi digital syariah bisa dilakukan tanpa tatap muka secara langsung,” tambahnya.

Sementara Prof. Nafik mengungkapkan bahwa ekonomi Islam menekankan pentingnya etika berusaha yang bersifat universal dan dapat diterima oleh seluruh umat manusia, tanpa memandang agama.

Ia menegaskan bahwa prinsip-prinsip ekonomi Islam sejatinya adalah nilai-nilai etika universal yang menekankan kejujuran, keadilan, kerja sama, serta kepedulian terhadap lingkungan dan sesama manusia.

“Bisnis dalam perspektif Islam harus dilandasi kejujuran dan niat untuk bekerja sama, bukan saling menipu atau mengeksploitasi. Nilai-nilai ini diterima secara luas, karena bersumber dari prinsip kemanusiaan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kesadaran bahwa Islam membawa ajaran untuk seluruh alam semesta, sehingga konsep ekonomi Islam bukan milik umat Islam semata. Hal ini tercermin dalam Al-Qur’an, yang memerintahkan umat Islam untuk mencari keuntungan dunia tanpa melupakan akhirat dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Baca Juga:  Gelar Workshop Videografi, Ikhtiar Kadin Jatim Bagi Enterpreneur Penyandang Disabilitas Naik Kelas

Menurut Prof. Nafik, etika bisnis Islam juga mengajarkan untuk tidak mengeksploitasi karyawan serta menjaga lingkungan, hal yang kini menjadi sorotan dalam ekonomi global yang lebih berkelanjutan.

Namun demikian, penerapan ekonomi Islam di Indonesia masih belum optimal. Data menunjukkan bahwa pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia baru mencapai sekitar 6,5%, angka yang masih jauh dari ideal. Padahal, pertumbuhannya tercatat konsisten dan lebih tinggi dari rata-rata perbankan konvensional.

“Masalahnya terletak pada literasi masyarakat. Banyak yang belum memahami perbedaan mendasar antara bunga dan sistem bagi hasil. Karena itu, edukasi sejak dini sangat penting, bahkan sejak dari dalam kandungan melalui makanan halal yang dikonsumsi ibu,” tandasnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa ekonomi Islam sangat sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, sudah sepatutnya ekonomi syariah mendapat tempat lebih besar dalam perekonomian nasional.

“Indonesia butuh mendorong ekonomi Islam bukan hanya dari sisi regulasi, tetapi juga dari gerakan masyarakat yang menyadari bahwa berusaha secara etis adalah kunci kemajuan bersama,” ungkapnya.

Dengan mengedepankan nilai-nilai universal, ekonomi Islam diyakini mampu menjadi sistem ekonomi alternatif yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.

Baca Juga:  Tergencet Gempuran Produk Impor China, Begini Keluhan Pengrajin Kulit dan Perak ke Kadin Jatim

Sementara itu, Clarashinta Canggih mengatakan, dengan jumlah umat Muslim mencapai lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan global dalam ekonomi syariah. Namun, hingga saat ini, potensi tersebut masih belum tergarap optimal.

“Indonesia sendiri memiliki sumber daya alam dan manusia yang besar. Jika dikelola secara baik dan dikembangkan dengan nilai-nilai Islam, ekonomi syariah nasional berpotensi menjadi raksasa ekonomi yang mampu menempati posisi sentral dalam perekonomian global,” katanya.

Sejauh ini, pemerintah telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah 2019–2024 yang memetakan sektor-sektor yang perlu dikembangkan. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama pada rendahnya literasi ekonomi dan keuangan syariah di kalangan masyarakat.

“Literasi adalah kunci. Jika pengetahuan masyarakat tentang ekonomi Islam meningkat, maka kecenderungan untuk terlibat dan mendukung sistem ini pun akan ikut tumbuh,” lanjutnya.

Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah di seluruh lapisan masyarakat, serta penguatan infrastruktur industri syariah. Hal ini memerlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga pemimpin dalam ekonomi syariah dunia. Amrozi Amenan

Komentar