
SURABAYA, InvestorJatim – Program makan bergizi gratis (MBG) tak sekadar mengatasi masalah gizi buruk dan stunting, tetapi juga terkait dengan kesejatheraan masyarakat. Karenanya program yang sudah berjalan selama dua bulan terakhir sebaiknya tetap dilaksanakan dan perlu dievaluasi agar diketahui kekurangannya untuk diperbaiki.
Kalangan pemerintah, pelaku usaha, praktisi kesehatan hingga jurnalis memberikan dukungannya melalui diskusi bertema Peran Stakeholder dan Media Dalam Mendukung Program Makan Bergizi Gratis yang digekar di Surabaya, Kamis (27/2/2025).
Diskusi ini menghadirkan Kepala Seksi Kesehatan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Jawa Timur Cici Swi Antika, Corporate Communication Manager PT Frisian Flag Indonesia Fetti Fadliah, Wakil Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat (PKGM FKM) Universitas Indonesia, Prof. Dr. drg Sandra Fikawati MPH dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur Lutfil Hakim.
“Ada sepuluh keunggulan program MBG. Di antaranya mendukung ketahanan pangan, membangun sustainable ecosystem, memberikan pelatihan untuk peningkatan kapsitas, menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendatapaan, dan membuka peluang investasi untuk hilirisasi. Bukan semata-mata memberi makan bergizi,” Cici Swi Antika.
Dia mengungkapkan, tantangan terbesar MBG adalah mengatasi kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro, dan obesitas. Belum lagi kematian ibu melahirkan dan stunting msih mengkhawatirkan, kendati ada penurunan.
Berdasar data dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, angka kematian ibu (AKI) di Jatim pada 2024 mencapai rencana strategis, yakni 82,56 per 100.000 atau masih di bawah 93,34. Begitu juga dengan kematian bayi (AKB) pada 2024 tercatat 3.754 atau turun dari tahun 2023 yang mencapai 3.938.
“Meski turun, dibutuhkan percepatan penurunan semua sektor. Nah, program MBG ini sejalan dengan pengentasan stunting baik nasional maupun di Jatim. Meskipun angkanya turun, tapi masih cukup tinggi. Itu sebabnya kami butuh lintasektor. (Dinkes Jatim) tidak bisa jalan sendiri,” Cicik menambahkan.
Berdasarkan data dari e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) rata-rata prevalensi stunting Januari-November 2024 di Jatim 5,96 persen. Angka ini turun 0,08 persen dari capaian Januari-Juni 2024, yakni 6,10 persen dan sudah di bawah target 14 persen.
Bila penurunan AKI, AKB, obesitas maupun stunting bisa diatasi, Dinkes Jatim menyoroti risiko anemi yang masih tinggi di kalangan pelajar SD/MI kelas satu hingga enam. Pada tahun 2023, jumlah penderita anemia kelompok usia ini 0,52. Sedangkan triwulan ketiga 2024 justru naik menjadi 0,14.
“Tujuan utama dari program MBG ini untuk meningkatkan pemenuhan gizi, memperbaiki prestasi, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja atau memberantas kemiskinan,” jelasnya.
Konsumsi Susu
Sandra Fikawati menyampaikan bahwa upaya program MBG sudah sangat baik dengan memberikan makanan sesuai dengan targetnya, walaupun diakuinya masih ada beberapa kekurangan.
“Tapi menurut saya itu suatu pengalaman yang tentunya akan diperbaiki. Jadi saya rasa untuk waktu yang pendek, relatif pendek itu sebenarnya sudah sangat baik. Ada kekurangan itu nanti akan diperbaiki sesuai dengan waktunya,” kata Fikawati.
Dikatakan, untuk meningkatkan asupan gizi itu tidak bisa terlalu cepat, karena seperti berat badan, dan tinggi badan juga perlu waktu.
“Kalau sekitar 3 bulan itu masih kadang terlihat, kadang enggak. Mungkin 6 bulan kita bisa lihat bagaimana efeknya terhadap status gizi anak,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dia, sebaiknya program MBG ini harus tetap dilaksanakan, diterapkan, walaupun sekarang masih ada kekurangan dan sebagainya.
“Harus tetap dievaluasi sehingga kita bisa mengetahui kekurangan apa dan itu diperbaiki.
Dan memang tadi peran wartawan menjadi sangat penting karena pemahaman yang salah mungkin dari masyarakat dan sebagainya itu akan bisa diluruskan oleh wartawan,” kata Fikawati.
Dia menyatakan, survei yang dilakukan menunjukkan bahwa konsumsi susu di Tanah Air masih rendah. Masih 16 liter per kapita per tahun. Masih jauh dari negara maju seperti Belanda yang sudah 250 liter per kapita per tahun,” terangnya.
Ia pin menyayangkan bila ada ‘kampanye’ stop mengonsumsi susu dan diganti dengan makan ikan atau daging. Padahal, lanjutnya, kebutuhan susu sangat berkontribusi diberikan kepada anak setelah masa ASI eksklusif, balita, sekolah hingga menginjak usia 35 tahun.
Masih menurut surveinya, balita yang kurang mengonsumsi susu berdampak pada stunting, pelambatan pertumbuhan, malnutrisi, hingga overweight bagi masyarakat urban.
“Makanan seimbang nggak boleh berlebihan dan ga boleh kurang. Salah satu concern kami bahwa anak-anak membutuhkan protein berkualitas, karena dalam masa pertumbuhan. Beda dengan orang dewasa,” ujarnya.
Salah satu alasan memberikan susu kepada anak-anak karena susu adalah makanan alami sejak lahir dan paling praktis dimulai dari pemberian ASI eksklusif. Bahkan susu telah diatur di dalam Al Quran, surah An-Nahl (16:66). Ayat ini menjelaskan tentang susu yang dihasilkan ternak (mamalia), memiliki manfaat sebagai minuman yang menyehatkan.
Selanjutnya, dari survei yang dilakukan di program uji coba MBG, dari 359 siswa dalam penelitian itu mayoritas mengalami gizi buruk bahkan kurang. Memang ada temuan siswa dengan gizi berlebih. Itu sebabnya ia mendukung program MBG, lengkap dengan susu. Program uji coba ini sudah berjalan bersama Frisian Flag Indonesia di Cikarang, Jawa Barat.
“Program edukasi kami berikan kepada guru untuk menyampaikan gizi dan fungsinya sekali dalam satu minggu kepada siswanya,” terang dia.
Lutfil Hakim juga menegaskan program MBG sangat positif dan penting untuk diberikan. “Tinggal evaluasi penyaluran logistiknya, distribusinya, hingga oeprasionalnya,” ungkap dia.
Dikatakan, pers wajib terlibat sebagai salah satu stakeholder. Mengacu pada Pasal 3 dan Pasal 6 UU Pers, media semestinya memberikan koreksi dan edukasi. Media juga harus memahami seluruh proses edukasi hingga memberi kritik.
“Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar skill menulis dan mengkritik, tapi harus paham aturan, regulasi, maupun mekanismenya,” kata Lutfil.
Inisiasi Frisian Flag Indonesia
Fetti Fadliah menyatakan, PT Frisian Flag Indonesia sebetulnya telah menginisiasi program edukasi dan makanan bergizi ini dengan visi Nourishing Indonesia to Progress. Latar belakang ini didasari dari hasil temuan South East Asian Nutrition Surveys (SEANUTS) II di empat negara, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
“Masih ada anak-anak yang belum tercukupi secara gizi hariannya untuk kalsium, maupun vitamin D. Bahkan, satu dari empat anak masih stunting, anemia pada remaja putri, kurangnya pemenuhan zat besi dan sejumlah anak-anak urban mengalami overweight,” ungkap Fetti.
Tantangan sekarang anak-anak dan orang tua belum tersosialisasi, atau belum mengetahui pilihan yang sehat ketersediaan yang terbatas dan edukasi yang memang kurang. Adanya Program MBG, Frisian Flag Indonesia mendorong literasi dan edukasi diberikan kepada anak-maupun guru, anak untuk melengkapi sarapan dengan susu. Dari hasil SEANUTS II, ditemukan sarapan yang dilengkapi dengan susu memiliki asupan vitamin D empat kali lebih tinggi dan kalsium 2,6 lebih tinggi.
Bukti bila Frisian Flag Indonesia telah berkontribusi pada program MBG adalah program edukasi gizi dan pemberian produk susu kepada anak-anak sejak tahun 2013 yang dikenal dengan Gerakan Nusantara dengan capaian 2,5 juta anak. Baru-baru ini industri yang berbasis di Pasar Rebo, Jakarta ini juga melaksanakan program uji coba MBG yang menyasar 10 sekolah dengan rincian delapan SD dan dua SMP, dengan sasaran total 2000 anak di wilayah Cikarang, Bekasi.
Sementara itu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Lutfil Hakim menegaskan MBG sudah diterakan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Finlandia, Denmark, Brasil, Jepang, Korea, dan India.
“Ini program yang positif dan sangat penting untuk diberikan. Tinggal evaluasi penyaluran logistiknya, distribusinya, hingga oeprasionalnya,” ungkap Pak Item, sapaan lekatnya.
Terlepas dari itu, ia meminta pers wajib terlibat sebagai salah satu stakeholder. Menyitir Pasal 3 dan Pasal 6 UU Pers, ia meminta media memberi koreksi dan edukasi. Hanya saja ia meminta agar media memahami seluruh proses edukasi hingga memberi kritik.
“Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar skill menulis dan mengkritik, tapi harus paham aturan, regulasi, maupun mekanismenya,” pungkas Lutfil. Amrozi Amenan
Komentar